Agar organisasi memiliki keunggulan kompetitif melalui individu-individu yang terus menerus belajar, hanya dapat terjadi bila individu-invidu tersebut berkembang di dalam organisasi. Artinya organisasi harus memiliki tingkat retensi yang optimal. Semakin banyak jumlah karyawan yang memiliki masa kerja optimal untuk pengembangan yang optimal, semakin optimal pula organisasi akan berkembang. Oleh karena itu organisasi perlu mengupayakan dengan serius untuk mencapai 2 hal ini: program belajar terus menerus dan mengelola tingkat retensi optimal.
Nah di sinilah letak masalahnya. Pendekatan belajar dalam organisasi yang umumnya dilakukan seperti diuraikan di atas, belum dapat memberikan dampak seperti yang dikehendaki. Baik dalam membentuk budaya belajar terus menerus yang dihayati oleh semua individu dalam organisasi maupun dalam mempertahankan sumberdaya yang potential untuk berkembang dan mengembangkan organisasi. Lalu pendekatan yang bagaimana yang akan dapat memberi dampak lebih besar?
Pertama harus kita pahami apa yang dimaksud dengan belajar dalam konteks pengrmbangan organisasi. Definisi Belajar/Learning – (Merriam Webster) : adalah segala perubahan sikap yang relatif permanen, didapat dari tindakan (practice) dan pengalaman (experience). Dengan kata lain belajar adalah proses kognitif untuk mengadopsi pengetahuan, nilai2 dan keterampilan yang menghasilkan perubahan sikap.
Manusia sendiri diciptakan Tuhan Yang Maha Esa dengan potensi dan kemampuan untuk belajar, yang kemudian secara default[AA1] menjadi suatu keniscayaan dalam upaya mengembangkan kehidupannya. Dengan belajar manusia kemudian memperbaiki/menyesuaikan cara pandang dan cara bersikap/berbuat dalam menghadapi setiap setuasi kehidupan sesuai kebutuhannya.
Jadi pada dasarnya manusia disebut belajar apabila ada dampak perubahan sikap dan perbaikan kehidupan dalam bentuk peforma yang lebih baik atau kemajuan kualitas kehidupan seorang invidu, organisasi, masyarakat yang lebih luas. Oleh karena itu belajar harus dapat mendorong keterampilan berfikir (‘thinking skills)’an keterampilan mencapai (‘(accomplishing skills)’ yang harus terkait secara langsung dengan situasi real kehidupan dan permasalahannya (experiential learning). Belajar sifatnya personal (berbeda pada setiap orang), dan adalah proses yang terjadi terus menerus – long life -, di mana manusia dapat selalu belajar dari lahir sampai mati.
Hal ini tentu tidak mungkin diharapakan dapat diperoleh sepenuhnya dari proses belajar model sekolah, karena sifatnya yang memang notabene hanya proses memindahkan pengetahuan (dari instruktur ke peserta belajar), dirancang untuk proses belajar kolektif yang standard dan non personal, serta waktu belajar yang terbatas/tertentu (temporary).
“Education is not the learnig of facts, but the training of the mind to think” – Albert Einstein.
Bagi organisasi, dimana setidaknya separuh – atau bahkan lebih – dari kehidupan karyawannya berada dalam lingkungan perusahaan, peluang untuk belajar serta dampaknya akan sangat mempengaruhi seluruh kehidupannya. Akan menentukan adanya (atatu terjadinya) positive atau negative loop dalam hidupnya. Oleh karena itu, penting bagi organisasi untuk memastikan dan mendorong adanya peluang belajar setiap saat bagi setiap invidu di dalamnya.
Di sinilah para pemimpin memiliki kesempatan luas dan sepatutnya mengambil peranan yang besar dalam proses belajar organisasi. Merekalah yang dalam keseharian berinteraksi dan berpengaruh pada organization experience yang dialami staffnya. Para pemimpin berpeluang besar untuk menjadikan setiap interaksi dan waktu yang dihabiskan karyawan untuk organisasi sebagai kesempatan untuk belajar.
Tanpa kesadaran pemimpin untuk memainkan peranan besar tersebut, Maka dapat dimengerti dengan praktek seperti yang umumnya sekarang ini terjadi di dalam organisasi, seringkali kenyataan jauh dari harapan. Sehingga menyebabkan ketidak puasan pada semua pihak, karyawan, pemimpin dan organisasi.
Telah disebutkan bahwa belajar adalah kebutuhan manusia, maka seperti umumnya suatu kebutuhan bila terpenuhi akan memberi rasa puas, dan bahagia. Selain itu, riset juga menyatakan bahwa kepuasan dan kebahagian seseorang merupakan kunci kesuksesan dan pencapaian yang lebih baik (bukan sebaliknya seperti yang banyak dipahami dalam masyarakat[AA2] ). Individu yang terus belajar akan merasakan kepuasan dan akan memiliki performa kehidupan yang terus meningkat, yang mana akan kembali memberikan kepuasan dan kebahagiaan lebih lanjut (positive loop).
Sebaliknya bila Karyawan merasa tidak terpenuhi kebutuhan belajarnya, selain akan merasa tidak puas juga akan kurang memiliki kemampuan untuk menghadapi persoalan hidup dan melakukan perbaikan. Mereka juga mendai kurang mampu menunjukkan performa optimal, yang mana akan kembali menjadi ketidakpuasan (negative loop).
Bagi yang memiliki potensi tinggi dan dorongan pribadi kuat (self drive) biasanya hanya akan bertahan dalam organisasi dalam waktu singkat sebelum pergi meninggalkan organisasi mencari peluang lain untuk berkembang. Sedangkan yang akan terus berada dalam organisasi dalam waktu lama umumnya adalah mereka yang kurang memiliki itu semua sehingga tidak memiliki banyak pilihan lain.
Di sisi lain pemimpin dan organisasi yang telah menaruh harapan besar pada karyawan juga merasa tidak puas. Pertama, karena performa karyawan pada perusahaan tidak seoptimal yang diharapkan sehingga tidak memberikan kontribusi signifikan bagi kemajuan dan perkembangan organisasi. Kedua, mereka harus bekerja extra untuk terus menerus memenuhi kebutuhan man power agar organisasi tetap dapat beroperasi sebagaimana mestinya.
Organisasi terjebak dalam situasi sulit dalam upaya untuk mencapai kinerja standar minimal dengan kondisi kekurangan jumlah dan kualitas karyawan. Hal ini memaksa organisasi masuk dalam talent war yang tidak ada habisnya, yang sangat menyita energi, waktu dan fokus kerja yang seharusnya dapat digunakan untuk memikirkan hal-hal yang lebih strategis untuk pengembangan organisasi.
Jadi memang sangat perlu adanya deep-rooted conviction [AA3] pada diri para pemimpin. Dimana ada Belief yang terbentuk ketika individual menerima dan memahami suatu ide dan pada saat bersamaan melihat relasinya dengan tujuan personalnya (U[AA4] ntungnya Buat Saya Apa?).
Upaya untuk itu harus dilakukan secara top down – Dimulai dari jajaran pemimpin tertinggi organisasi – dan HR dapat mengambil peranan strategic dalam proses ini. Dapat dimulai misalnya dengan tegas melakukan push back untuk mengembalikan tugas belajar ini pada pemimpin, mendorong proses belajar organisasi yang lebih efektif melalui fasilitasi belajar yang lebih personal – juga dapat dimulai dari jajaran tertinggi pemimpin -, “memaksa” pemimpin untuk melakukan tugas belajar organisasi ini dengan menjadikannya sebagai salah satu indikator performa yang penting dan terukur, dll. Sehingga belajar dapat menjadi budaya dalam organisasi.
Disclaimer:
Admin berhak menghapus setiap komen yang bernuansa sensitif, seperti mengandung unsur SARA, pornografi dan sebagainya.