Quality Resources Coach

Peran Strategis Leadership dalam Organization Learning (1/3)

“Jadikan setiap tempat sebagai sekolah, dan jadikan setiap orang sebagai guru” – Ki Hajar Dewantara

McKinsey consulting baru-baru ini mempublikasikan hasil risetnya tentang pengembangan sumberdaya manusia (talent development) khususnya sehubungan dengan perebutan sumber daya manusia (talent war)  Salah satu kesimpulannya adalah kritikalnya peranan pemimpin   dalam mengembangkan sumber daya manusia dan juga menyampaikan secara spesifik bahwa coaching (coach leaders) adalah kompetensi kunci bagi leaders untuk menjalankan peran tersebut dengan efektif

Mengapa talent development? Kita ketahui keunggulan kompetitif suatu organisasi sangat ditentukan dari kemampuannya untuk belajar (learning) dan mengambil tindakan cepat berdasarkan pembelajaran tersebut (Jack Welch). Sementara Peter Senge seorang american system scientist yang juga pengajar senior di MIT school of management mengatakan Pembelajaran dalam sebuah organisasi hanya dapat terjadi melalui individu-individu yang belajar (Organizations learn only through individuals who learn). Sehingga bagi suatu organisasi untuk dapat bertahan dan terus berkembang maka memastikan individuals yang terus belajar (learn) dan berkembang (developed) merupakan suatu keniscayaan.

Dengan demikian maka talent development harus menjadi prioritas strategis dan tanggung jawab terpenting dari pemimpin (leaders) dan oleh karenanya merupakan kompetensi kepemimpinan (leadership) terpenting pula yang harus dimiliki oleh pemimpin. Hal itu disepakati oleh para CEO dan pimpinan organisasi, terlebih lagi dalam kondisi saat ini di mana perebutan sumber daya manusia  yang berkualitas (talent war), merupakan tantangan besar yang dihadapi hampir semua organisasi.. Sayangnya, walaupun kesadaran ini dimiliki oleh semua pihak, pada kenyataannya dalam praktek manajemen secara umum belum menggambarkan adanya kesadaran tersebut. 

Ada beberapa penyebab terjadinya hal ini, yang bisa kita simpulkan menjadi 2 (dua) aspek mendasar yaitu: kurangnya kesungguhan (will) dan kemampuan/kompetensi (skill) untuk melakukannya.

Walaupun terdapat kesadaran akan  pentingnya upaya pengembangan sumber daya manusia, namun  belum terlihat kesungguhan yang memberi dorongan kuat bagi leaders  untuk menempatkan topik ini sebagai aksi strategis (strategic action)  yang dilakukan dengan serius. [AA4] Kurangnya kesungguhan ini  dapat dilihat salah satunya dari penentuan prioritas kerja.  Secara umum jarang sekali bahkan hampir tidak ada agenda khusus untuk aktifitas terkait talent development dalam rencana (schedule) kerja harian mereka. Dapat dikatakan kesadaran tentang hal ini baru mencapai level pemikiran (head base), yaitu sesuatu yang logis dan rasional, namun pemikiran tersebut belum sampai mencapai  ranah keyakinan (belief system – heart base) mereka. Bagaimana ini dapat terjadi?

Pertama, pemahaman umum di masyarakat abad ini – termasuk pemimpin – bahwa belajar identik dengan sekolah (formal form of learning) baik dalam bentuk sekolah formal ataupun lembaga-lembaga penyelenggara belajar. Di dalam organisasi biasanya ini adalah lembaga pusat pelatihan (training center) Bila dilihat dari sejarah pendidikan masyarakat, memang berdirinya sekolah-sekolah menjadi kunci untuk menghasilkan masyarakat terdidik secara massal dan cepat guna memenuhi kebutuhan pekerja pabrik-pabrik (era revolusi industri). Perlawanan untuk mencapai kesetaraan belajar (pendidikan) di Indonesia sendiri juga ditandai dengan berdirinya sekolah Taman Siswa, walaupun Ki Hajar Dewantara sang pendiri percaya bahwa pendidikan jauh melewati dinding-dinding sekolah.

Dengan pemahaman ini dapat dimengerti mengapa para pemimpin tidak mengambil peranan utama dalam mengembangkan sumber daya manusia. Konsekuensi konkrit dari pemahaman ini adalah belief bahwa kualitas dan potensi manusia (karyawan) ditentukan dari diplomanya. Terlihat jelas impelementasinya pada perilaku dan praktek organisasi dalam menangani sumber daya manusia.

Sejak dimulainya proses rekruitmen, faktor akademik formal menjadi pertimbangan utama diikuti dengan pengalaman di bidang pekerjaan yang sama. Sedangkan penekanan pada identifikasi terhadap potensi kandidat melalui teknik seleksi yang dirancang sebagai proses standar rekrutmen, belum dilakukan dengan serius.

Dengan sendirinya, organisasi memiliki harapan terlalu tinggi  terhadap kandidat yang diterima, bahwa mereka harus dapat berkontribusi dengan kinerja yang cemerlang tanpa diperlukan atau sedikit sekali campur tangan organisasi khususnya pemimpin si karyawan untuk mempersiapkan dan membantu mereka untuk belajar sehingga mampu memiliki kinerja dengan performa unggul.

Memang tidak dapat dinafikan bahwa organisasi-organisasi papan atas memberi perhatian cukup besar dan juga dana untuk proses pengembangan karyawan. Namun sayangnya pada umumnya pelaksanaannya masih atas dasar pola pikir bahwa belajar adalah bersekolah.  Oleh karena itu wajar saja bila kemudian proses belajar umumnya hanya menjadi “pekerjaan” training center, di mana biasanya berada di bawah tanggungjawab dan pengelolaan HR. Sehingga proses pengembangan manusia dan proses belajar organisasi secara sadar atau tidak diserahkan sepenuhnya pada HR.

Kedua, sayangnya HR pun seolah-olah mengaminkan dan menerima saja penyerahan tugas dan tanggung jawab belajar ini. Terlepas apakah suka atau tidak suka dengan situasi ini, tapi umumnya belum ada upaya serius dalam organisasi untuk mendorong dan memaksa pemimpin untuk mengambil peran utama dalam proses belajar karyawan dan organisasi.

Sebagai konsekuensi pemahaman kolektif dalam organisasi, HR  (Training Center) pun seringkali megambil posisi sebagai sekolah. Layaknya sekolah, maka program-program belajar dibuat standar melalui kurikulum yang dirancang dengan konsep one fit all – kalaupun ada pembedaan seringkali masih sebatas pembedaan berdasarkan level karyawan dalam organisasi – dengan proses belajar masih difokuskan pada pengetahuan (teori) melalui kelas-kelas belajar, dengan instruktur.

Sangat jarang sekali organisasi memiliki program belajar melalui pendekatan praktis yang terintegrasi dengan pekerjaan sehari-hari – seperti penugasan-penugasan dalam proyek perbaikan kinerja, magang di unit-unit kerja lain (internal internship, temporary job rotation), program pengembangan individu secara mandiri, yang kesemuanya akan secara aktif membutuhkan peranan besar dari para pimpinan. Kalaupun ada program-program tersebut, masih dilakukan dalam mekanisme ad-hoc dan belum dijalankan secara masif, sistematis dan terstruktur.

Agar organisasi memiliki keunggulan kompetitif melalui individu-individu yang terus menerus belajar, hanya dapat terjadi bila individu-invidu tersebut berkembang di dalam organisasi. Artinya organisasi harus memiliki tingkat retensi yang  optimal.  Semakin banyak jumlah karyawan yang memiliki masa kerja optimal untuk pengembangan yang optimal, semakin  optimal pula organisasi akan berkembang. Oleh karena itu organisasi perlu mengupayakan dengan serius untuk mencapai 2 hal ini: program belajar terus menerus dan mengelola tingkat retensi optimal.

Nah di sinilah letak masalahnya. Pendekatan belajar dalam organisasi yang umumnya dilakukan seperti diuraikan di atas, belum dapat memberikan dampak seperti yang dikehendaki. Baik dalam membentuk budaya belajar terus menerus yang dihayati oleh semua individu dalam organisasi maupun dalam mempertahankan sumberdaya yang potential untuk berkembang dan mengembangkan organisasi. Lalu pendekatan yang bagaimana yang akan dapat memberi dampak lebih besar?

Pertama harus kita pahami apa yang dimaksud dengan belajar dalam konteks pengrmbangan organisasi. Definisi Belajar/Learning – (Merriam Webster) : adalah segala perubahan sikap yang relatif permanen, didapat dari tindakan (practice) dan pengalaman (experience). Dengan kata lain belajar adalah proses kognitif untuk mengadopsi pengetahuan, nilai2 dan keterampilan yang menghasilkan perubahan sikap.


Disclaimer:
Admin berhak menghapus setiap komen yang bernuansa sensitif, seperti mengandung unsur SARA, pornografi dan sebagainya.

Scroll to Top
Consultation